Seperti biasanya, pagi buta saya pasti sudah berada di sawah menjalankan tugas sebagai Penyuluh Pertanian Lapang di singkat PPL. Dari satu petak sawah ke petak sawah yang lain untuk mengamati pertumbuhan padi, mengamati perkembangan hama/penyakit atau menghampiri petani untuk sekedar menyapa atau saling bertukar pikiran.
Pagi itu jadwal kunjungan ke kelompok tani Sido Rukun. Setelah merasa cukup di hamparan lahan usaha tani tersebut, saya pun menyalakan motor dan beralih ke hamparan sawah kelompok tani lain yang berada di ujung desa Sidorejo. Jalan usaha tani yang kecil adalah satu-satunya akses menuju ke sana, aku pun menghentikan motor pas di ujung jalan kecil itu, tepat di depan sebuah TK yang hanya memiliki satu ruangan saja.
Aku perhatikan, keadaan di TK itu sedikit tidak terkendali. Ibu gurunya cuma seorang diri mengawasi kegiatan anak-anak. Ada yang nangis di ayunan , ada yang minta diantar pipis, ada pula yang kejar-kejaran. Sepertinya sang guru kebingungan dan mungkin butuh pertolongan, pikirku. Tapi ku tangguhkan dulu niat menawarkan diri untuk menolong, tugasku untuk berkunjung ke sawah yang ada terhampar di depan mata adalah tujuan utama. Nanti kalau balik, baru ke TK itu. Saya pun kembali melangkah dari petak satu kepetak yang lainnya, tapi tidak terlalu lama karena ingat TK itu terus.
Dengan keringat membasahi dahi dan sepatu yang berlumur lumpur, ku hampiri TK tersebut. Keadaannya masih sama, sangat gaduh dengan seorang guru sibuk menenangkan anak-anak agar tidak berantem. Saya pun memberi salam dan disambut oleh sang guru.
“Saya lihat ibu kerepotan tadi mengatur anak-anak. Saya PPL di desa ini bu. Kalau mau, saya bisa bantu ibu mengajar disini. Saya bisa bahasa inggris sedikit atau bisa ajar anak menari. Saya tidak usah di bayar, saya cuma mau bantu.” Kataku menyodorkan diri dengan sedikit promosi talenta yang saya miliki. Tapi ibu guru tersebut sepertinya tambah bingung mendengar pernyataan saya, sepertinya dia mencurigai saya. Jangan-jangan ini orang gila, mana ada orang waras pergi menawarkan diri sendiri jadi relawan.
“hmm.. nanti ya, saya tanyakan sama kepala sekolahnya dulu.” Gitu kata bu guru yang kemudian saya ketahui nama beliau adalah ibu tiwi. Saya pun pamit pulang dan selasa depan saya pasti berkunjung lagi ke sana, karena jadwal kunjungan saya tiap hari selasa di sawah dekat TK tersebut.
Seminggu kemudian saya pun muncul, seperti biasanya saya langsung kesawah dulu tuk bekerja. Pulangnya baru ke TK itu lagi karena motor saya terparkir disana. Kali ini bu tiwi sudah di temani dua orang guru, “Bagaimana bu tawaran saya untuk jadi relawan?” tanya saya setelah memberi salam.
“Tapi tidak di gaji ya?” tanya bu tiwi, dan diikuti tatapan aneh dari kedua rekannya,
“iya bu, saya tidak usah di gaji.” Jawabku menyakinkan.
Selasa berikutnya saya pun mulai mengajar di TK itu. Tentunya setelah menjalankan tugas utama sebagai PPL. Saya ngajar kelas bahasa inggris, cuma ngajar vocabulary aja kok sambil nyanyi-nyanyi biar cepat dihafal oleh anak-anak. Saya sangat terharu, kala motor saya berhenti didepan sekolah itu, anak-anak sontak berdiri walau sementara dalam proses pembelajaran. Mereka memanjat jendela karena pintu kelas ditutup dari dalam, sambil teriak-teriak manggil, “Bu guru bahasa inggris..bu guru bahasa inggris...” sampai saya menghilang di balik rimbunnya pohon pisang menuju petak sawah.
Saya juga memperkenalkan dunia pertanian kepada anak-anak. Mana itu serangga yang menjadi hama dan yang mana menjadi sahabat kita. Tidak hanya di TK saja, bahkan di SD maupun di SMP pun tak luput dari kunjungan saya. Mengisi bidang study Muatan Lokal, tanpa di bayar sedikit pun. Malah saya yang ngeluari biaya untuk keperluan anak-anak. Banyak teman-teman relawan baik dalam maupun luar negeri mengsupport kegiatan saya ini. Bahkan mereka sampai datang dan nginap di rumah untuk membantu mengajar di sekolah-sekolah tersebut.
Banyak kesaksian dari orangtua anak-anak itu, kalau anak mereka semangat kesekolah dan pinter bahasa inggris. Walau cuma nyanyi bahasa inggris, mereka bilangnya sudah pinter. Oya.. rerata anak yang bersekolah di TK itu anak-anak petani. jadi kehidupan mereka dibawah standar, terlihat pakaian seragam mereka lusuh karena warisan dari kakak kelas sebelumnya. Jadi saya mencoba menawarkan diri menjadi guru bahasa Inggris gratis, untuk menghemat pengeluaran para pelaku utama untuk membiayai anak-anak mereka memperoleh ilmu bahasa Inggris lewat kursus berbayar.
Dulu, banyak teman sejawat menyoroti pekerjaan saya ini. Ada yang bertanya, “kamu mau jadi PPL atau guru sih?” atau kata-kata menyindir yang bikin panas kuping saya. Ada juga teman yang tidak percaya kalau saya ngajar itu tidak diberi honour, katanya saya bodoh bekerja tidak ada imbalannya. Bahkan saya di laporin ke kantor BP4KKP waktu itu. Tapi saya cuek aja, toh tugas utama saya jalan.... saya membina kelompok-kelompok tani.
Ada sebuah quote favorite yang tertempel di dinding kamarku berbunyi, "Kalau belum bisa menjadi Matahari. Tak mengapa... jadilah LILIN terlebih dahulu." Menjadi lilin yang dapat menerangi gelapnya malam, yang rela hancur demi memberikan cahaya pada manusia di sekitarnya. Saya ingin seperti sebatang lilin, walau hanya perbuatan kecil di lakukan namun dapat menambah pengetahuan anak-anak ini dalam memelihara lingkungannya.
Kegiatan ini saya mulai sejak agustus 2012 hingga saat ini (2019). Dan saya berharap, teman-teman PPL dapat meneladani untuk bisa mengisi kelas-kelas ilmu alam di sekolah-sekolah disegala jenjang pendidikan. Agar anak-anak generasi sekarang bisa care dengan kelestarian alam ini dan menimbulkan rasa cinta pada lingkungan hidup minimal membuang sampah pada tempatnya.
Salam inspirasi !