Selasa, 19 Juni 2018

PPL SIAP MELAYANI

     Suka duka menjadi Penyuluh Pertanian Lapang atau biasa di kenal dengan sebutan PPL ya seperti ini. Tidak memandang jauhnya Wilayah Binaan (WTJ), berangkat dari rumah di pusat sebuah kecamatan menuju kecamatan lain. Ditempuh dengan kendaraan roda dua sejauh 21.7 km, membelah perkebunan kakao dan parkir di lereng gunung untuk melanjutkan perjalan sejauh 5 km. Sekiranya jalan datar mungkin bisa memakan waktu satu jam perjalan, tetapi medannya terlalu menanjak, sekitar 3-4 jam kami daki. Penderitaan tidak sampai disitu saja, bahaya kerap kali mengintai. sendirian membela hutan membuat nyaliku sedikit ciut, takutnya ada ular piton yang sigap menerkam. Belum lagi saya adalah seorang perempuan, berjalan sendiri itu berisiko tinggi dari tindak kejahatan. Semestinya atasan lebih bijak menempatkan kami yang mau bekerja di suatu wilayah. Tapi sudahlah, jalani aja dengan iklas, lakukan yang terbaik. hanya Allah yang dapat menilai seberapa tulusnya diriku mengabdi bagi bangsa ini. Mulut komat-kamit baca doa dan sesekali ku dendangkan dengan keras-keras lagu Rohani penguat jiwa untuk mengemban tugas mulia ini.
Jalan menanjak sejauh 5 km
Beristirahat sejenak disela perjalanan

     Saya pun tidak mempermasalahkan buruknya infrastrukstur ke desa itu, dengan motor butut, ku pacu diatas  permukaan jalanan yang berlubang-lubang, bila hujan genangan air menutupi permukaan lubang menjadikan jebakan batman buat pengendara yang lewat. Dikiranya dangkal oee.. ternyata lumayan dalam atau ban sering slip di lumpr sehingga dada terasa sesak menahan lajunya kendaraan. Pergi pagi - pulang sore , alhasil sampai dirumah badan sakit semua, tak jarang saya tidur telengkup diatas bantal sambil menangis - menahan sakit. keesokan harinya saya harus bangun pagi buta, persiapkan diri menuju ke desa itu, menempuh perjalanan 26.7 km lagi...
     Saya juga tidak mengharapkan fasilitas dari pemerintah, motor dinas, basecamp, laptop, printer, tunjangan kinerja, BOP dan lain-lain. Pakai sarana dan prasarana sendiri dengan status PTT Sukarela, ngeluarin duit milik pribadi. Tapi saya tidak nuntut ini -itu, protes sana- sini, saya jalani dengan iklas. Setahun Allah melihat ketulusanku, puji Tuhan, saya terangkat menjadi CPNS..horeeee.....

Saat hujan deras
Sanggar tani menjadi basecampku


     Melayani masyarakat pedalaman yang termajinalkan punya kesan tersendiri. Buruknya akses ke desa itu mengakibatkan pelayanan masyarakat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Masih banyak petani yang belum bergabung dalam satu kelompok, karena petugas tidak datang kekediaman mereka. Atau anak-anak sekolah yang masih berkeliaran selama jam pelajaran, karena tidak adanya guru yang datang. adapun guru yang dipekerjakan adalah PTT sukarela seperti halnya saya, karena tak ada biaya, maka proses belajar mengajar semestinya berlangsung selama 6 hari, kadang hanya 2-3 hari saja. Anak-anak yang berjalan sejauh 5 km turun gunung, kadang kecewa mendapati kelas kosong tanpa guru. Disini PPL mengambil peran menjadi guru, mencoba mengisi kelas dengan mulok Pertanian, Bhs. Inggris atau pengembangan karakter anak. PPL juga memfasilitasi kebutuhan bersekolah anak-anak petani dengan bantuan dari para donatur seperti seragam sekolah, sepatu, tas, sepeda dan lain-lain.

 Demikian kisahku sebagai Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) yang melayani di pedalaman. walau sudah dimutasi ditempat lain, tapi masih sering mengontrol keadaan kelompok-kelompok tani disana dan anak-anak petani binaanku. semoga menginspirasi PPL Perempuan lainnya untuk tidak menolak jika ditugaskan dimana pun. Bravo PPL !!!